Beranda | Artikel
Jualan Di Tk Atau Sd
Selasa, 1 April 2014

Di halaman berbagai TK (Taman Kanak-kanak) dan SD (Sekolah Dasar), kita jumpai banyak pedagang yang menjajakan makanan ringan atau pun mainan kepada anak-anak. Padahal, anak-anak yang membelinya belum balig–alias belum berusia 15 tahun–. Bahkan, banyak di antara anak-anak itu yang belum tamyiz (yaitu, mencapai usia tujuh tahun). Sahkah jual beli yang dilakukan oleh anak-anak, baik yang sudah tamyiz ataukah belum? Jika tidak sah, berarti uang yang didapatkan para pedagang tersebut adalah uang haram. Mengingat begitu mendesaknya permasalahan ini, mari kita cermati dengan baik tulisan berikut ini.

Sahkah jual beli yang dilakukan anak yang sudah tamyiz tetapi belum mukallaf?

Para pakar fikih berselisih pendapat mengenai sah-tidaknya transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak kecil. Ada yang berpendapat, “Sah, asalkan seizin orang tuanya.” Ada yang mengatakan, “Tidak sah, baik dengan seizin orang tuanya atau pun tidak.” Ada juga yang memperbolehkan jika anak-anak berjual-beli barang yang nilainya remah, meski tanpa izin orang tuanya.

An-Nawawi Asy-Syafi’i, dalam Al-Majmu’, 9:185, menjelaskan pendapat-pendapat para ulama mengenai hal ini, “Pasal tentang pendapat para ulama mengenai transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz (baca: tujuh tahun, pent.). Telah kami sampaikan bahwa dalam mazhab kami (baca: Mazhab Syafi’i), jual beli yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz itu tidak sah, baik dengan seizin orang tuanya atau pun tidak. Ini juga pendapar Abu Tsaur.

Adapun pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahuyah adalah bahwa jual beli yang dilakukan oleh anak-anak yang sudah tamyiz itu sah, asalkan dengan seizin orang tuanya.

Selain pendapat tersebut, Abu Hanifah juga memiliki pendapat kedua. Dalam pendapatnya yang kedua, Abu Hanifah memperbolehkan jual beli yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz, tanpa seizin orang tuanya, namun keabsahan transaksinya tergantung izin orang tuanya.

Ibnul Mundzir mengatakan bahwa Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahuyah memperbolehkan transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz, meski tanpa seizin orang tuanya, asalkan nilai barang yang dibeli itu remeh.”

Ibnu Qudamah Al-Hanbali, dalam Al-Mughni, 4:168 mengatakan, “Transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah tamyiz itu sah jika seizin orang tuanya. Demikianlah salah satu pendapat Imam Ahmad, dan ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah.

Pendapat Imam Ahmad yang kedua adalah bahwa jual beli yang dilakukan oleh anak kecil itu tidak sah sampai anak tersebut balig; ini juga merupakan pendapat Syafi’i. Alasannya, anak kecil yang sudah tamyiz itu belum mukallaf, sehingga statusnya sama dengan anak kecil yang belum tamyiz. Kita juga tidak mengetahui secara pasti masa seorang anak itu memiliki akal yang menyebabkan dia layak untuk melakukan transaksi jual beli, karena kondisi akal adalah sesuatu yang tidak jelas dan tahapan pertambahan akal itu juga tidak jelas. Oleh karena itu, tolak ukur yang dipakai oleh syariat adalah usia balig. Dengan demikian, segala ketentuan yang berlaku untuk orang yang berakal itu tidak berlaku sampai seorang anak berusia balig.

Alasan kami menilai sahnya transaksi jual beli yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz adalah firman Allah,

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Yang artinya, ‘Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian, jika menurut pendapatmu, mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka.‘ (Qs. An-Nisa`:6)

Makna ayat di atas adalah: ujilah anak-anak tersebut supaya kalian mengetahui kelayakan mereka dalam membelanjakan harta. Proses ujian hanya bisa dilakukan dengan memberikan–kepada mereka–wewenang untuk melakukan transaksi jual beli, supaya diketahui apakah anak tersebut bisa membeli barang dengan harga standard ataukah tidak.

Alasan yang lain, anak yang sudah tamyiz itu sudah memiliki akal namun tidak sesempurna akal orang dewasa, sehingga dia tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli melainkan dengan izin orang tuanya, semisal budak. Oleh karenanya, tidak tepat jika menyamakan anak yang sudah tamyiz dengan anak yang belum tamyiz. Tidak ada manfaat di balik transaksi yang dilakukan oleh anak yang belum tamyiz karena dia belum memiliki pengetahuan mengenai seluk-beluk jual beli dan dia juga belum bisa mengetahui apakah harga suatu barang itu terlalu mahal ataukah tidak. Anak yang belum tamyiz tidak perlu diuji karena kondisi anak tersebut sudah jelas.

Syafi’i dan ulama yang sejalan dengan beliau dalam masalah ini mengatakan bahwa kondisi akal itu tidak bisa diketahui. Jawaban kami, kondisi akal itu bisa diketahui dengan melihat pengaruh akal dan kepandaian melakukan transaksi, sebagaimana hal ini juga berlaku untuk anak yang sudah balig.

Kepandaian melakukan transaksi adalah syarat penyerahan harta anak yatim kepada pemiliknya yang sudah balig dan juga menjadi syarat keabsahan transaksi yang dilakukan anak yatim tersebut. Ketentuan tersebut juga berlaku dalam kasus ini. Adapun transaksi yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz, tanpa seizin orang tuanya, adalah transaksi yang tidak sah. Mungkin saja kita katakan sah, namun itu tergantung apakah pada akhirnya orang tua mengizinkan ataukah tidak, sebagaimana pendapat Abu Hanifah.

Dua syarat transaksi yang sah dilakukan oleh anak kecil

Adapun anak kecil yang belum tamyiz, transaksi jual beli yang dia lakukan itu tidak sah, meski dengan seizin orang tua, kecuali untuk barang-barang yang nilainya remeh. Diriwayatkan bahwa Abu Darda memiliki seekor burung kecil dari seorang anak kecil. Setelah dibeli, burung tersebut dilepas. Riwayat dari Abu Darda ini disebutkan oleh Ibnu Abi Musa.”

Walhasil, menurut pendapat yang paling kuat, anak kecil boleh dan sah melakukan transaksi dalam dua kondisi:
1. Transaksi jual beli barang yang nilainya murah. Transaksi ini sah meski anak tersebut belum balig. Contoh barang yang nilai murah adalah sepotong kue atau sebuah permen murahan.
2. Transaksi yang dilakukan dengan seizin orang tua.

Dalam Mathalib Ulin Nuha, sebuah buku fikih Mazhab Hanbali, 3:10 disebutkan, “Kecuali jual beli barang yang nilainya remeh, misalnya: satu potong kue, satu ikat sayuran, atau satu biji permen. Jika bukan barang yang nilainya remeh, transaksi yang dilakukan oleh anak yang sudah tamyiz itu sah, asalkan orang tuanya mengizinkannya, mengingat firman Allah di surat An-Nisa ayat ke-6.

Haram bagi orang tua untuk memberi izin bagi anak kecil untuk melakukan transaksi, jika karena rengekan atau tangisan si anak, bukan karena pertimbangan bahwa membeli barang tersebut adalah suatu hal yang bermanfaat bagi si anak.”

Contoh barang yang nilainya remeh di atas hanyalah sekadar contoh karena tolak ukur “barang yang nilainya remeh” adalah ‘urf (kesepakatan tidak tertulis yang ada di tengah-tengah masyarakat). Dengan demikian, segala benda yang menurut konsesus masyarakat itu nilainya remeh dan wajar dibeli anak kecil maka itulah barang yang nilainya remeh yang boleh dibeli oleh anak kecil.

Disarikan dari http://islamqa.com/ar/ref/97489

Artikel www.PengusahaMuslim.com


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/1844-jualan-di-tk-atau-sd.html